Loading

ARTIKEL

Siasat Petani di Lahan Gambut

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
siasat-petani-di-lahan-gambut

Bupati Pulang Pisau Edy Pratowo (dua dari kiri) melihat produk-produk olahan dari lahan gambut milik berbagai Desa Peduli Gambut (DPG) di Desa Garantung, Kabupaten Pulang Pisau, Kamis (13/2/2020).

Puluhan tahun Zainal Arifin (58) menggantungkan hidup pada kelapa. Sejak umur 20 tahun, petani kelapa di Kelurahan Bahaur Basantan, Kabupaten Pulang Pisau, itu menjual kelapa (Cocos nucifera) dan kopra. Hasilnya, ia dapat membangun rumah dan menyekolahkan anak-anak hingga ke perguruan tinggi.

Sepanjang 1990 hingga 2000-an, kelapa menjadi primadona di desanya. Ada 600 hektar kebun kelapa di pinggir Sungai Kahayan. Namun, semuanya berubah ketika perusahaan perkebunan kelapa sawit mengekspansi kawasannya. Banyak lahan dikonversi ke tanaman sawit. Kelapa mulai ditinggalkan.

Saat banyak perusahaan masuk di kawasan itu, petani kelapa hanya menjadi penonton. Sebagian ikut bekerja di kebun sawit, sebagian menjual lahan ke perusahaan. ”Harga kelapa dan kopra jatuh, padahal dulu jaya sekali. Sekitar tahun 2015 sudah banyak petani di sini beralih dan menyerah mengelola kelapa,” kata Zainal, Rabu (12/2/2020).

VCO sudah dipakai sejak dulu kalau ada yang sakit, luka, dan obat stamina.

Pada tahun itu terjadi kebakaran hebat di hutan dan lahan gambut. Hal itu dipicu banyaknya pembukaan lahan dan pembuatan kanal-kanal hingga membuat gambut menjadi kering dan rentan terbakar. ”Itu bencana. Kami sulit bernapas, anak-anak sakit, lahan beserta tanaman pun habis,” kata Zainal.

Di tengah pengembangan kebun sawit yang masif, Zainal dan delapan petani kelapa lain berinisiatif untuk tetap setia pada komoditas kelapa. Mereka lantas membuat Rumah Kelapa, kelompok tani kelapa yang belakangan menjadi badan usaha milik desa. Didampingi dan difasilitasi oleh Badan Restorasi Gambut serta Kemitraan (Partnership), mereka mencari alternatif mengelola gambut tanpa membakar.

Adapun dalam pengembangan komoditas, mereka membuat produk turunan kelapa, seperti virgin coconut oil (VCO), minyak goreng kelapa, dan keripik kelapa. VCO dan produk lain dipilih karena lekat dengan kehidupan petani kelapa. ”VCO sudah dipakai sejak dulu kalau ada yang sakit, luka, dan obat stamina. Ibu saya juga pakai untuk rambutnya,” kata Bainudin (40), salah satu anggota Rumah Kelapa.

 

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Bainudin (40) salah satu anggota Rumah Kelapa menunjukkan minyak goreng kelapa hasil olahannya, Kamis (13/2/2020).

Kini, produk olahan kelapa itu tak hanya dibuat di Bahaur Basantan, tetapi juga di tiga desa tetangga, yaitu Desa Papuyu I Sei Pasanan, Bahaur Hulu Permai, dan Dandang. Dalam sehari, mereka mampu memproduksi 35 botol VCO dan 10 botol minyak goreng kelapa. Keripik kelapa pun bisa dibuat mereka sesuai pesanan.

Cerita sukses juga datang dari Kecamatan Maliku, Pulang Pisau. Petani membuat inovasi dari jeruk nipis yang kemudian dijadikan sirup. Sama seperti di Bahaur, jeruk nipis di wilayah ini merupakan komoditas yang mulai ditinggalkan karena harganya jatuh. Saat ini, harga jeruk nipis di sana hanya Rp 90.000- Rp 100.000 per 50 kilogram. Padahal, harga normal Rp 150.000 per 50 kg.

Berawal dari keprihatinan akan jatuhnya harga jeruk nipis, ibu-ibu dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga Melati berinisiatif membuat sirup dari jeruk nipis. Sirup dijual Rp 15.000 per 150 mililiter. Bulan ini mereka menerima pesanan 45 botol sirup. Adapun di Desa Sidodadi, Kecamatan Maliku, bawang dayak dan mengkudu diolah menjadi minuman bubuk dan teh. Pasarnya hingga ke luar Kalteng. Bawang dayak diyakini berkhasiat kesehatan.

Bawang dayak dan mengkudu dalam bentuk teh dan bubuk siap seduh dijual Rp 25.000-Rp 50.000 per kemasan. Proses pembuatan dilakukan para ibu. Dalam sebulan, mereka memproduksi 100 kemasan 250-500 gram.

 

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Salah satu tempat pengolahan kelapa di Kelurahan Bahaur Basantan, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (13/2/2020).

Revitalisasi ekonomi

Berdasarkan data Kemitraan, sedikitnya terdapat 48 produk yang dihasilkan dari lahan gambut yang ada di 46 desa peduli gambut di Kalteng. Sebagian besar lahan gambut tersebut pernah terbakar. Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut Myrna Safitri mengungkapkan, program pendampingan bagi masyarakat merupakan bentuk revitalisasi ekonomi.

Hasilnya diharapkan bisa dipakai untuk memelihara atau mengoperasikan infrastruktur pencegahan kebakaran lahan gambut, seperti sumur bor dan sekat kanal yang sudah dibangun. Dampak lain, gambut terjaga karena mengurangi aktivitas mengolah lahan tanpa bakar. Pola ini membuat kegiatan restorasi lebih baik dan gambut terjaga.

”Jika dimanfaatkan dengan bijak, gambut menjadi lahan yang sangat produktif. Dengan revitalisasi ekonomi, masyarakat dapat untung, gambut juga terjaga,” kata Myrna. Beragam inovasi pengolahan lahan gambut tanpa membakar berujung pada pemenuhan biaya hidup sehari-hari masyarakat, seperti sekolah anak dan biaya kesehatan. Dengan inovasi, lingkungan gambut juga terjaga.

 

KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Zainal Arifin (58) salah satu penggagas dan pendiri Rumah Kelapa, Badan Usaha Milik Desa di Kelurahan Bahaur Basantan, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menunjukkan hasil olahannya dari kelapa, Kamis (13/2/2020). Saat ini komoditas kelapa yang pernah perkasa di desa itu perlahan ditinggalkan, namun mereka yang setia tetap bertahan dan berinovasi. 

Artikel Populer